Assa Asso, yang juga dikenal sebagai Stracky Yally, seorang sineas dari komunitas Papuan Voices. Foto diambil dari komunitas Papuan Voices.

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris

Pemerintah Indonesia telah beberapa kali melakukan tindakan pembatasan kebebasan ekspresi di Indonesia, Papua, dan Papua Barat. Contohnya adalah tindakan pelambatan dan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat di tahun 2019 setelah terjadi protes anti-rasisme di berbagai daerah dan wilayah di Indonesia.

Bukti terancamnya kebebasan berekspresi di Indonesia ini diperkuat dengan dijatuhkannya hukuman kepada Assa Asso (yang juga dikenal sebagai Stracky Yally), seorang jurnalis dan sineas dari organisasi Papuan Voices, pada tanggal 24 Juni 2020. Assa Asso dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun atas dugaan makar ketika dia mendokumentasikan protes anti-rasisme yang terjadi di bulan Agustus dan September 2019 melalui akun Facebooknya.

Pada saat persidangan, Assa Asso mengungkapkan bahwa dia sedang melakukan pekerjaannya sebagai seorang sineas dengan mendokumentasikan protes melalui berbagai foto dan video secara online. Namun, dia tetap dituduh melanggar pasal 106 jo Pasal 87 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP dan atau Pasal 14 ayat (1), (2) dan Pasal 15 UU No 1/1946 dan atau Pasal 66 UU No 24/2009 dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 187 KUHP dan atau Pasal 365 KUHP dan atau Pasal 170 KUHP ayat (1) KUHP dan atau Pasal 2 UU No 12/1951 jo Pasal 64 KUHP. Pasal-pasal ini menjelaskan tentang makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Kasus Assa Asso dan berbagai kasus para aktivis Papua yang dituduh melakukan makar adalah salah satu contoh bagaimanai kebebasan berekspresi, yang merupakan hak asasi dasar manusia, dapat terancam dan disalahgunakan oleh pemerintah dimanapun.

Isu yang terjadi, berawal dari dokumentasi online yang dianggap makar hingga menjadi tahanan politik Papua

Isu-isu terkait Papua dan Papua Barat merupakan isu yang sangat beragam dan rumit, khususnya dengan banyaknya tekanan dari pemerintah Indonesia melalui aparat polisi dan militer untuk menekan masyarakat Papua yang kritis. EngageMedia telah membantu menyebarkan video-video yang mendokumentasikan tindakan semena-mena yang dilakukan aparat polisi Indonesia terhadap masyarakat Papua. EngageMedia juga membuat kompilasi laman yang dapat memberikan tambahan pemahaman kontekstual tentang perjuangan masyarakat Papua.

Protes anti-rasisme yang terjadi pada tahun 2019 bermula ketika terjadi tindakan rasisme dengan ujaran penghinaan monyet oleh aparat dan preman di Asrama mahasiswa Papua Kamasan III di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur. Aparat ini juga menuduh mahasiswa papua ini telah membuah bendera Indonesia di selokan di samping asrama tersebut. Kemudian, aparat ini berusaha untuk memasuki asrama secara paksa untuk menangkap mahasiswa-mahasiswa tersebut. Tindakan rasisme ini kemudian memicu berbagai tindakan di berbagai daerah di Indonesia.

Diantaranya adalah demonstrasi anti-rasisme yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa protestan membawa papan protes bertuliskan “Saya Bukan Monyet”. Aksi anti rasisme berlangsung 19 – 26 Agustus 2019. Hingga 26 Agustus 2019, ribuan orang terus turun hingga massa meredup di akhir Agustus seiring kuatnya represi dan terus bertambahnya aparat militer dan polisi ke Papua. Pemerintah Indonesia pun sempat melakukan pelambatan dan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat dengan alasan untuk menangkal penyebaran berita bohong/hoax. Tindakan tersebut telah dinyatakan melanggar hukum dan tentunya telah membatasi ruang gerak berbagai pihak diantaranya adalah para jurnalis media dan jurnalis independen.

Sejak awal demonstrasi, aparat telah melakukan penangkapan terhadap 733 orang masa aksi. Dari jumlah 726 orang kemudian dipulangkan sementara 7 orang ditahan untuk diproses hukum lebih lanjut. Salah satunya adalah Assa Asso yang mengunggah berbagai status mengkritisi tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua yang berujung tuduhan makar oleh pemerintah Indonesia

Dukungan untuk Assa Asso: Siapa saja yang sudah angkat bicara?

Assa Asso ditangkap pada 23 September 2019. Persidangannya dimulai pada 4 Maret 2020. Emanuel Gobai, pengacara Assa Asso dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menyampaikan bahwa Assa Asso sedang memotret dan mengabadikan momentum aksi anti rasisme yang berlangsung di kota Jayapura sebagai seorang jurnalis. Ia juga turut memastikan kondisi teman-teman dan anggota sesukunya dalam kondisi aman. Namun ia tetap dinyatakan telah melanggar hokum atas tuduhan makar dan dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun.

Saat rangkaian persidangan Assa Asso dan tahanan politik lainnya, berbagai organisasi telah menuntut pembebasan tanpa syarat bagi para tahanan politik tersebut, khususnya untuk mencegah penyebaran COVID19 di dalam penjara.

Beberapa organisasi yang ikut mendukung gerakan ini diantaranya:

Selain itu, beberapa media lokal dan internasional juga turut memberitakan cerita tentang tahanan politik Papua ini, diantaranya adalah:

#PapuanLivesMatter: Apa yang bisa kita lakukan?

Menyatakan foto dan video terkait protes yang diunggah melalui Facebook sebagai tindakan makar, dan melakukan pelambatan serta pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat, pemerintah Indonesia telah banyak dikritik atas tindakan penyensoran internet dan pembatasan kebebasan berekspresi online. Berikut adalah beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk memonitor respon pemerintah Indonesia atas tindakan-tindakan tersebut, sekaligus bagaimana kita dapat menyatakan dukungan kita untuk menentang ketidakadilan atas kebebasan berekspresi:

Dakwaan yang diterima Assa Asso dan nasib para tahanan politik Papua lainnya merupakan bagian dari rangkaian isu yang rumit yang terjadi tidak hanya pada kasus rasisme di tahun 2019. Namun, seruan solidaritas untuk melindungi kebebasan berekspresi khususnya di platform online adalah salah satu hal yang dapat diberikan oleh masyarakat sipil dimanapun, karena kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi dasar manusia.

 

Tentang Penulis: Yerry Borang adalah Engagement and Learning Specialist dari EngageMedia. Fokus utama dia adalah hak asasi digital dan video untuk perubahan. Fendi Widianto adalah Communication Enthusiast dari EngageMedia yang memiliki dedikasi pada pembangunan komunitas dan pembangunan partisipatoris secara kreatif untuk kelompok rentan, termasuk kelompok disabilitas dan anak-anak rentan, serta pemberdayaan pemuda.